Updates

APBN 2026 – Bagaimana Mencermatinya? Sebuah Diskusi di Breakfast Forum ILUNI FEB UI

Jakarta, 29 Agustus 2025 – Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (ILUNI FEB UI) menggelar Breakfast Forum bertajuk “APBN 2026: Bagaimana Mencermatinya?”. Forum ini mempertemukan alumni, akademisi, praktisi, pembuat kebijakan untuk mengulas ruang fiskal Indonesia di tengah tekanan global dan keterbatasan APBN.

Acara dibuka oleh Ketua Umum ILUNI FEB UI, Ubaidillah Nugraha, yang menekankan pentingnya peran alumni dalam proses kebijakan publik terutama di tengah gentingnya penggaungan suara rakyat pada pembuat kebijakan.

Dalam paparan utama, Wakil Menteri Keuangan, Prof. Suahasil Nazara (FEB UI ‘88), menegaskan bahwa APBN bukan hanya instrumen fiskal, melainkan alat untuk mewujudkan cita-cita bangsa sesuai UUD 1945. “Di tengah dunia yang penuh gejolak, cita-cita bangsa kita tidak berubah: berdaulat, adil, dan makmur. APBN adalah alat untuk mencapai cita-cita tersebut, sekaligus instrumen untuk menjaga stabilitas, alokasi, dan distribusi,” tegasnya. Ia juga menegaskan bahwa baseline kebijakan RAPBN 2026 tidak terlepas dari refleksi pelaksanaan APBN 2025, khususnya melalui efisiensi dan rekonstruksi belanja APBN untuk mendukung program prioritas Presiden.

Dari sisi capaian ekonomi, APBN 2025 berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% pada kuartal II serta inflasi tetap terkendali di 2,37% untuk menjaga daya beli masyarakat. “Tidak banyak negara bisa tumbuh di atas 5% dengan inflasi di atas 2%,” ujarnya. Untuk 2026, strategi fiskal diarahkan pada penguatan ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, koperasi dan UMKM, serta pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Forum dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan Vid Adrison (Ekonom FEB UI, FEB UI ‘94), Shinta Kamdani (Ketua Umum APINDO), Lenita Tobing (Managing Director & Senior Partner BCG, FEB UI ‘93), dan Prof. Mohamad Ikhsan (Dewan Guru Besar FEB UI, FEB UI ‘83).

Diskusi ini dimoderatori oleh Ibrahim Kholilul Rahman (Senior Research Associate IFG, FEB UI ‘98).

Vid Adrison menyoroti target pertumbuhan 7–8% yang dinilai sulit di tengah perlambatan ekonomi dan beban fiskal. Ia juga menekankan penurunan signifikan Transfer ke Daerah (TKD) pada RAPBN 2026 turun sebesar 24,8% menjadi Rp650 triliun.

“Kalau TKD turun, akan berdampak besar kepada penerimaan Kabupaten/Kota, karena rata-rata porsi TKD dalam anggaran daerah sekitar 73%. Menaikkan PBB menjadi opsi yang dipilih Pemda, tapi ini membebani masyarakat dan memicu protes di daerah,” jelasnya.

Ia juga menilai Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak memberi nilai tambah baru. “Apakah MBG bisa mendorong pertumbuhan, atau hanya memindahkan dana dari kantong orang tua ke pemerintah?” tegasnya.

Terkait apa opsi pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara, menurutnya penting untuk memperbaiki kualitas governance dan institusi. “Kualitas institusi dan tata kelola pemerintahan yg baik bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat. Jika orang percaya, kegiatan ekonomi akan berkembang, uang akan berputar. Orang juga akan lebih rela membayar pajak kalau kualitas institusi dan tata kelola pemerintahan baik,” ujarnya.

Lenita Tobing menekankan perlunya pergeseran peran APBN dari payer menjadi enabler dan instrumen derisking. Ia mengusulkan konsep “sunset and swap” untuk mengalihkan subsidi konsumtif ke belanja produktif.

“Daripada crowd-out pembiayaan swasta, APBN harus crowd-in lewat penjaminan, matching fund, green bonds, atau joint venture,” ujarnya.

Ia menambahkan, tata kelola harus berbasis outcome dengan monitoring ketat yang dikaitkan dengan anggaran. “Program sosial tetap ada, tapi tepat sasaran dan mengecil otomatis saat indikator membaik,” ujarnya. Sektor enabler seperti iklim, logistik, transportasi, pariwisata, dan digital agar tetap didukung APBN karena merupakan katalis pertumbuhan dan memberi multiplier effect untuk penciptaan lapangan kerja dan pemerataan ekonomi.

Shinta Kamdani menyoroti salah satu tantangan industri nasional yang masih bergantung pada impor bahan baku, “Kita ingin mendorong hilirisasi dan menjadi basis ekspor, tetapi kemandirian industri belum sepenuhnya terbangun. Untuk itu, diperlukan pembenahan di sektor upstream.” ungkapnya.

Ia menilai Indonesia masih terjebak dalam high cost economy, mulai dari logistik, energi, pembiayaan, hingga produktivitas tenaga kerja yang kalah saing dengan negara tetangga ASEAN. Shinta menambahkan, setiap tahun terdapat tambahan sekitar 2–3 juta angkatan kerja baru, namun keterbatasan daya serap sektor formal membuat banyak di antaranya lari ke sektor informal.

“Kita harus mendorong reformasi kebijakan struktural yang berfokus pada job creation. Dengan fokus pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja, Indonesia tidak hanya mampu mengurangi tekanan informalitas, tetapi juga dapat mengoptimalkan bonus demografi yang dimiliki,” jelasnya.

Prof. Mohamad Ikhsan menegaskan ruang belanja APBN makin sempit akibat dominasi belanja wajib, terutama pembayaran bunga utang. “Jika belanja produktif tidak diperbesar, kita hanya mewariskan utang tanpa pertumbuhan berkelanjutan,” ujarnya. Ia juga menyoroti rendahnya tax base dengan sekitar 85% PPh disumbang oleh 15% wajib pajak.

Selanjutnya, Prof. Ikhsan menyampaikan bahwa program populis tidak selalu dapat dikonversi menjadi kenaikan penerimaan di masa mendatang. Gagalnya debt-led growth strategy dalam melakukan fiscal capture ini akan membuat ruang fiskal semakin sempit.

“Kita harus hati-hati dengan kebijakan populis yang biayanya besar tapi minim manfaat jangka panjang,” tambahnya.

Dalam sesi diskusi, Prof. Miranda S. Goeltom memberi catatan kritis soal keberlanjutan utang. Menurutnya, pertumbuhan utang yang eksponensial berisiko membebani generasi mendatang jika tidak diarahkan ke belanja produktif. Ia juga mempertanyakan kebijakan penetapan kupon Patriot Bond yang lebih rendah dari bunga pasar.

“Kalau obligasi ditetapkan 2% sementara bunga deposito bank terendah 2,4%, investor pasti meragukan kredibilitasnya. Trust adalah bahan bakar pertumbuhan. Tanpa kepercayaan, bond market kita rentan,” ujarnya.

Dengan pandangan kritis dari berbagai perspektif, Breakfast Forum ILUNI FEB UI menjadi momentum penting bagi alumni FEB UI untuk berkontribusi dalam merumuskan kebijakan fiskal yang kredibel, adaptif, dan berpihak pada kepentingan jangka panjang bangsa.

Terima kasih kepada para sponsor yang mendukung acara ini

Narahubung media:
Direktorat Komunikasi dan Informasi
ILUNI FEB UI
Nicko – 0821 2394 6074
[email protected]

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x